Penanaman Modal Asing (PMA) sebagai potensi pintu kepemilikan tanah berlebih oleh orang asing melalui manipulasi hukum pertanahan di Indonesia
oleh :
Dr. KRA. MJ. Widijatmoko SH Sp.N
Dosen Universitas Djuanda Bogor.
Indonesia memiliki regulasi ketat terkait kepemilikan tanah oleh orang asing. Pada prinsipnya, hak milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Orang asing atau badan hukum asing (termasuk PMA) tidak dapat memiliki hak milik atas tanah.
Namun, terdapat beberapa hak atas tanah yang dapat dimanfaatkan oleh PMA, yaitu:
- Hak Guna Usaha (HGU). Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu, biasanya untuk usaha pertanian, perkebunan, atau perikanan.
- Hak Guna Bangunan (HGB). Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu.
- Hak Pakai. Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain.
Potensi manipulasi atau penyalahgunaan ketentuan hukum pertanahan oleh PMA yang mengkawatirkan umumnya terjadi melalui celah-celah berikut :
- Pemanfaatan Nama WNI (Nominee Arrangement).
Ini adalah modus paling umum, di mana orang asing atau PMA secara tidak langsung menguasai hak milik tanah dengan menggunakan nama WNI sebagai pemegang hak.
WNI tersebut hanya bertindak sebagai “boneka” atau perpanjangan tangan, sementara kendali dan manfaat ekonomis dari tanah tersebut sepenuhnya dinikmati oleh orang asing/PMA. Praktik ini dilarang keras oleh hukum Indonesia dan dapat berujung pada pembatalan hak atas tanah serta sanksi hukum.
- Akuisisi Perusahaan Lokal Pemilik Tanah.
PMA dapat mengakuisisi saham mayoritas perusahaan lokal yang memiliki hak milik atas tanah (terutama untuk lahan-lahan yang luas seperti perkebunan atau kawasan industri).
Meskipun secara hukum tanah tersebut tetap tercatat atas nama perusahaan Indonesia, kendali atas aset dan operasional perusahaan, termasuk tanahnya, beralih ke pihak asing.
- Penggunaan Hak Atas Tanah dengan Jangka Waktu Sangat Panjang.
Meskipun HGU dan HGB memiliki batasan waktu, perpanjangan dan pembaruan hak yang berulang-ulang dapat memberikan kesan penguasaan yang semi-permanen. Jika proses perpanjangan tidak diawasi dengan ketat, hal ini dapat disalahgunakan untuk menguasai tanah dalam jangka waktu yang sangat panjang seolah-olah memiliki hak milik.
- Skema Perjanjian yang Kompleks.
Melalui perjanjian-perjanjian yang kompleks dan berlapis (seperti perjanjian sewa-menyewa jangka panjang, perjanjian kerja sama, atau perjanjian pinjam pakai), orang asing dapat memperoleh kontrol de facto atas tanah meskipun tidak memiliki hak atas tanah secara langsung.
Upaya Pemerintah Mencegah Manipulasi.
Pemerintah Indonesia menyadari potensi manipulasi ini dan telah berupaya melakukan pengetatan melalui berbagai regulasi dan kebijakan, antara lain :
- Pembaruan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Meskipun UUPA telah ada sejak 1960, upaya penyesuaian dan penegasan regulasi terus dilakukan untuk menutup celah-celah hukum.
- Pengawasan Investasi.
Kementerian Investasi (dahulu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)) dan instansi terkait lainnya memiliki peran dalam mengawasi investasi asing agar tidak menyalahi ketentuan pertanahan.
- Penegakan Hukum Terhadap Nominee.
Aparat penegak hukum secara aktif melakukan penindakan terhadap praktik nominee yang terbukti melanggar hukum.
- Reformasi Agraria.
Program reforma agraria juga bertujuan untuk menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah agar lebih merata dan berkeadilan, sekaligus mencegah praktik-praktik ilegal.
Mari kita bedah lebih dalam mengenai “akal-akalan legal” yang mungkin terjadi dalam konteks Penanaman Modal Asing (PMA) terkait kepemilikan tanah di Indonesia.
Akal-Akalan Legal dalam Penanaman Modal Asing dan Kepemilikan Tanah di Indonesia, secara prinsip, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dengan tegas menyatakan bahwa Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Orang asing atau badan hukum asing, termasuk Penanaman Modal Asing (PMA), tidak memiliki hak tersebut.
Namun, celah atau “akal-akalan legal” seringkali muncul dari interpretasi atau pemanfaatan ketentuan lain yang ada, bukan berarti ketentuan tersebut secara langsung melegalkan kepemilikan tanah oleh asing, melainkan merupakan penyimpangan dari semangat undang-undang.
Berikut adalah beberapa modus “akal-akalan legal” yang sering ditemui :
- Skema Nominee (Pinjam Nama)
Ini adalah modus yang paling umum dan jelas-jelas melanggar hukum.
- Mekanisme :
Orang asing atau PMA secara de facto menguasai hak milik tanah, namun secara de jure (secara hukum) hak tersebut didaftarkan atas nama WNI. WNI tersebut bertindak sebagai “pemegang amanah” atau nominee, yang seringkali diikat dengan perjanjian di bawah tangan atau perjanjian pinjam nama lainnya yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum jika bertentangan dengan prinsip kepemilikan tanah.
a. “Akal-akalan Legal” :
Pihak asing berdalih bahwa transaksi dilakukan dengan WNI dan sesuai prosedur pendaftaran tanah. Namun, substansinya adalah pengalihan kontrol dan manfaat ekonomi tanah kepada pihak asing.
Ancaman Hukum :
Praktik ini dapat menyebabkan batalnya hak atas tanah dan adanya sanksi pidana bagi WNI yang meminjamkan namanya. Perjanjian nominee dianggap batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang.
b. Akuisisi Mayoritas Saham Perusahaan Pemilik Tanah.
Modus ini lebih canggih dan seringkali sulit dideteksi secara langsung.
- Mekanisme :
PMA tidak membeli tanah secara langsung. Sebaliknya, PMA mengakuisisi saham mayoritas (di atas 50%) dari sebuah perusahaan berbadan hukum Indonesia yang memiliki Hak Milik atas tanah (misalnya, perusahaan perkebunan, properti, atau industri yang memiliki lahan luas). Meskipun perusahaan tersebut tetap berstatus badan hukum Indonesia, kendali penuh atas perusahaan dan aset-asetnya (termasuk tanah) beralih ke tangan PMA.
“Akal-akalan Legal” :
Secara formal, tanah tetap atas nama perusahaan Indonesia. Ini dianggap tidak melanggar UUPA karena subjek hukum pemilik Hak Milik tetap perusahaan Indonesia, bukan orang asing. Namun, secara substansi, keputusan strategis dan manfaat ekonomi dari tanah tersebut sepenuhnya dikendalikan oleh pihak asing.
- Komentar Hukum :
Modus ini menjadi perdebatan panjang. Secara letterlijk undang-undang, memang tidak ada pelanggaran langsung karena kepemilikan tercatat atas nama badan hukum Indonesia. Namun, semangat UUPA untuk mencegah penguasaan tanah oleh asing menjadi terabaikan.
- Pemanfaatan Hak Atas Tanah Jangka Panjang dengan Opsi Perpanjangan.
PMA diizinkan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB).
Mekanisme :
HGU dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, serta diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 tahun. HGB juga serupa, dengan jangka waktu 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui 30 tahun. Total jangka waktu penguasaan bisa mencapai puluhan tahun (misalnya, HGU bisa mencapai total 95 tahun, bahkan lebih).
- “Akal-akalan Legal”:
Meskipun ini adalah hak yang sah dan diatur oleh undang-undang, akumulasi perpanjangan dan pembaruan hak yang berulang-ulang dapat menciptakan penguasaan tanah yang sangat lama, mendekati permanen, menyerupai hak milik. Jika tidak ada pengawasan ketat, ini bisa disalahgunakan untuk menguasai lahan dalam jangka waktu yang sangat panjang, membatasi akses masyarakat lain terhadap tanah.
- Perjanjian Sewa-Menyewa Jangka Panjang atau Perjanjian Pemanfaatan Lahan Lainnya :
- Mekanisme:
Orang asing atau PMA menyewa lahan dari WNI pemilik tanah dengan durasi yang sangat panjang (misalnya 20-30 tahun) atau membuat perjanjian kerja sama pengelolaan lahan yang memberikan kontrol operasional penuh kepada PMA.
- “Akal-akalan Legal”: Perjanjian sewa-menyewa adalah sah di mata hukum perdata. Namun, jika perjanjian tersebut dilengkapi dengan klausul-klausul yang memberikan hak eksklusif dan kontrol absolut kepada penyewa (asing) sedemikian rupa sehingga mengurangi hak kepemilikan pemilik aslinya, maka secara substansi ini bisa menjadi bentuk penguasaan tidak langsung.
Peran Pemerintah dalam Mencegah Akal-Akalan Legal.
Pemerintah Indonesia terus berupaya memperkuat regulasi dan pengawasan untuk mencegah praktik-praktik manipulasi ini. Beberapa upaya meliputi :
- Peningkatan Pengawasan.
Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, serta instansi terkait lainnya berupaya meningkatkan pengawasan terhadap transaksi tanah dan kepemilikan modal asing.
- Penegakan Hukum.
Tindakan tegas terhadap praktik nominee dan pembatalan hak atas tanah yang terbukti diperoleh secara melawan hukum.
- Penyempurnaan Peraturan.
Terus dilakukan penyusunan dan penyempurnaan peraturan turunan dari UUPA dan Undang-Undang Penanaman Modal untuk menutup celah-celah hukum yang ada.
- Transparansi Data.
Upaya menuju database pertanahan yang lebih transparan untuk memudahkan pelacakan kepemilikan dan penguasaan tanah.
Meskipun PMA sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi, prinsip kedaulatan atas tanah dan keadilan agraria harus tetap menjadi prioritas utama. “Akal-akalan legal” ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara menarik investasi asing dan melindungi hak-hak kepemilikan tanah bagi warga negara Indonesia.
Akan tetapi, lemahnya pengawasan kepemilikan dan pengelolaan tanah dalam konteks Penanaman Modal Asing (PMA) sangat krusial & memberi peluang yang berpotensi menjadikan Indonesia “surga” bagi praktik-praktik yang tidak sesuai dengan semangat hukum pertanahan nasional.
Lemahnya Pengawasan: Sorga Bahagia Berusaha di Indonesia ?
Memang benar, ketika pengawasan terhadap kepemilikan dan pengelolaan tanah oleh PMA lemah, hal ini dapat menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. Ibarat sebuah rumah yang pintunya tidak terkunci rapat, potensi penyalahgunaan akan selalu ada.
Berikut adalah beberapa aspek mengapa lemahnya pengawasan bisa menjadi “surga bahagia” bagi modus-modus manipulasi :
- Minimnya Deteksi “Nominee” dan Struktur Kepemilikan Kompleks :
- Penyembunyian Identitas.
Dengan pengawasan yang lemah, praktik nominee (pinjam nama WNI) menjadi sulit terdeteksi. Pihak asing dapat dengan leluasa mengendalikan tanah tanpa terdaftar sebagai pemilik, luput dari pantauan otoritas.
- Lapisan Korporasi.
PMA seringkali menggunakan struktur kepemilikan yang berlapis-lapis melalui berbagai entitas hukum, baik di dalam maupun di luar negeri. Tanpa pengawasan yang cermat dan kemampuan untuk “membongkar” lapisan-lapisan ini hingga ke pemilik manfaat akhir (ultimate beneficial owner), pihak asing dapat dengan mudah menyembunyikan kendali mereka atas tanah.
- Perjanjian “Bawah Tangan”.
Lemahnya pengawasan membuat perjanjian-perjanjian tidak sah yang mengikat nominee menjadi sulit terungkap, sehingga praktik ilegal ini dapat terus berjalan tanpa sanksi.
- Kurangnya Penegakan Hukum yang Konsisten :
- Sanksi yang Tidak Tegas.
Jika pelanggaran terdeteksi namun penegakan hukum tidak tegas atau cenderung permisif, maka tidak ada efek jera. Pelaku akan merasa aman untuk mengulangi atau bahkan mengembangkan modus manipulasi mereka.
- Proses Hukum yang Panjang.
Proses pembatalan hak atas tanah yang diperoleh secara ilegal seringkali memakan waktu lama dan biaya besar, sehingga menyulitkan pemerintah untuk bertindak cepat.
- Korupsi dan Kolusi.
Dalam beberapa kasus, kelemahan pengawasan juga bisa diperparah oleh praktik korupsi dan kolusi antara oknum-oknum berwenang dengan pihak PMA, yang memungkinkan pelanggaran terus terjadi tanpa hambatan.
- Data Pertanahan yang Belum Terintegrasi dan Transparan :
- Fragmentasi Data.
Data pertanahan yang tidak terintegrasi secara nasional atau masih dalam bentuk manual di beberapa daerah mempersulit pengawasan komprehensif. Sulit untuk melacak satu entitas PMA yang mungkin memiliki penguasaan lahan di berbagai lokasi dengan skema berbeda.
- Kurangnya Transparansi.
Akses publik terhadap data kepemilikan dan peruntukan tanah yang terbatas juga menjadi kendala. Transparansi adalah kunci untuk pengawasan partisipatif dari masyarakat sipil dan akademisi.
- Kesenjangan Informasi.
Ada kesenjangan antara informasi yang dilaporkan oleh investor dan kondisi riil di lapangan, yang luput dari pengawasan karena keterbatasan sumber daya atau teknologi.
- Tantangan dalam Pengawasan Pengelolaan HGU/HGB :
- Penguasaan Lahan Tidak Produktif.
PMA yang mengantongi HGU/HGB dalam jumlah besar namun tidak mengelola lahan tersebut secara produktif (ditelantarkan) seringkali luput dari pengawasan. Hal ini mengunci potensi ekonomi lahan dan merugikan negara.
- Penyalahgunaan Peruntukan.
Pengawasan yang lemah bisa membuat PMA menyalahgunakan peruntukan tanah yang diberikan. Misalnya, HGU untuk perkebunan digunakan untuk aktivitas lain yang tidak sesuai izin.
- Perpanjangan Hak Otomatis.
Jika proses evaluasi untuk perpanjangan atau pembaruan HGU/HGB tidak ketat, maka perpanjangan bisa terjadi secara otomatis tanpa tinjauan mendalam, membuka peluang penguasaan lahan yang tidak efisien.
Dampak “Surga Bahagia” Ini
Jika situasi ini berlanjut, dampaknya bisa sangat serius :
- Ketimpangan Penguasaan Tanah.
Konsentrasi penguasaan tanah pada pihak asing (melalui manipulasi) akan semakin meningkatkan ketimpangan agraria.
- Konflik Agraria.
Masyarakat lokal, terutama petani dan masyarakat adat, bisa kehilangan akses terhadap tanah mereka, memicu konflik berkepanjangan.
- Kedaulatan Ekonomi.
Kontrol asing yang berlebihan atas sumber daya tanah dapat mengancam kedaulatan ekonomi negara.
- Kerugian Negara.
Potensi pajak dan retribusi yang hilang akibat praktik ilegal, serta kerugian ekologis jika pengelolaan tanah tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, penguatan pengawasan, penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, digitalisasi data pertanahan, serta peningkatan transparansi menjadi kunci untuk memastikan bahwa investasi asing benar-benar berkontribusi pada pembangunan nasional tanpa mengorbankan kedaulatan atas tanah dan keadilan agraria.
Ini adalah PR besar bagi pemerintah untuk menutup “surga bahagia” bagi para manipulator.
Kesimpulan.
PMA memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun, penting untuk diakui bahwa ada potensi celah di mana PMA dapat mencoba memanipulasi ketentuan hukum pertanahan untuk mendapatkan kendali atas tanah secara berlebihan. Oleh karena itu, pengawasan yang ketat, penegakan hukum yang konsisten, dan penyempurnaan regulasi terus diperlukan untuk memastikan bahwa investasi asing berjalan sesuai koridor hukum dan tidak merugikan kepentingan nasional, terutama terkait kedaulatan atas tanah. []