Artikel: Mengenal Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR)

MENGENAL SEKILAS TENTANG PERSETUJUAN KESESUAIAN KEGIATAN PEMANFAATAN RUANG (PKKPR).

Oleh :
Dr. KRA. MJ. Widijatmoko SH Sp.N
-Dosen Universitas Djuanda Bogor.

Pendahuluan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) digulirkan dengan semangat penyederhanaan perizinan dan penciptaan iklim investasi yang kondusif di Indonesia.

Salah satu inovasi kuncinya adalah pengenalan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) sebagai pengganti berbagai izin terkait pemanfaatan ruang, seperti Izin Lokasi.

Namun, meskipun niat awalnya adalah untuk memangkas birokrasi, realitas di lapangan menunjukkan bahwa pengurusan PKKPR masih jauh dari kata sederhana. Kerumitan ini berpotensi menjadi penghambat investasi dan menyebabkan biaya bisnis (high cost business) yang tidak perlu di Indonesia.

Penulis akan menganalisis kerumitan dalam pengurusan PKKPR, faktor-faktor penyebabnya, serta dampaknya terhadap investasi dan biaya bisnis di Indonesia.

I. Esensi PKKPR dan Tujuan Awal UU Cipta Kerja.

Sebelum membahas kerumitan, penting untuk memahami kembali esensi PKKPR. PKKPR adalah dokumen yang menyatakan kesesuaian antara rencana lokasi kegiatan usaha dan/atau kegiatan non-usaha dengan Rencana Tata Ruang (RTR) yang berlaku (RTRW, RDTR, atau Rencana Zonasi).

Tujuan utama pengenalan PKKPR adalah:

1. Penyederhanaan Perizinan.

Mengganti berbagai izin dan rekomendasi tata ruang yang terpisah menjadi satu dokumen terintegrasi.

2. Kepastian Hukum.

Memberikan kepastian kepada investor bahwa lokasi yang dipilih sesuai dengan peruntukan tata ruang.

3. Efisiensi Waktu dan Biaya.

Mempersingkat waktu pengurusan dan mengurangi biaya yang timbul dari proses perizinan yang berlapis.

4. Integrasi Sistem.

Mengintegrasikan proses perizinan tata ruang ke dalam sistem Online Single Submission (OSS) yang terpusat.

Harapannya, PKKPR akan menjadi kunci pembuka gerbang investasi yang lebih mudah dan cepat.

II. Realita Kerumitan Pengurusan PKKPR.

Meskipun digadang-gadang sebagai solusi, implementasi PKKPR di lapangan seringkali dihadapkan pada berbagai kendala yang menjadikannya rumit, bahkan berpotensi menjadi penghambat.

A. Keterbatasan Integrasi RDTR Digital di Sistem OSS.

Salah satu janji utama UU Cipta Kerja adalah penerbitan PKKPR yang cepat dan otomatis jika lokasi pemohon sudah tercakup dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) digital yang terintegrasi dengan sistem OSS.

Namun, realitasnya :

1. Ketersediaan RDTR Digital yang Minim.

Banyak daerah di Indonesia belum memiliki RDTR digital yang lengkap dan terintegrasi dengan sistem OSS. Proses penyusunan RDTR digital memakan waktu dan sumber daya yang besar bagi pemerintah daerah.

2. Kesenjangan Data.

Meskipun beberapa RDTR sudah ada, integrasi data ke sistem OSS belum sepenuhnya mulus, seringkali menyebabkan error atau ketidaksesuaian data yang menghambat proses otomatisasi.

3. Ketergantungan pada Proses Manual.

Akibat minimnya RDTR digital, mayoritas permohonan PKKPR masih harus melalui proses manual yang melibatkan verifikasi oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan/atau Dinas Tata Ruang/PUPR di daerah.

B. Birokrasi dan Koordinasi Antar-Lembaga yang Belum Optimal.

Meskipun sistem OSS bertujuan menyederhanakan, kenyataannya :

1. Verifikasi Berulang.

Proses verifikasi di tingkat daerah seringkali masih dilakukan secara berjenjang dan berulang, mirip dengan proses izin lokasi sebelumnya.
Permohonan harus melalui beberapa review di dinas teknis terkait.

2. Koordinasi Lintas Sektor yang Buruk.

Untuk proyek-proyek besar atau kompleks, PKKPR masih memerlukan rekomendasi atau persetujuan dari berbagai kementerian/lembaga (misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk lahan bekas hutan, Kementerian PUPR untuk infrastruktur, dll.).
Koordinasi antar-lembaga ini seringkali tidak efisien dan memperlambat proses.

3. Kapasitas SDM dan Infrastruktur di Daerah.

Tidak semua pemerintah daerah memiliki sumber daya manusia yang memadai atau infrastruktur teknologi yang siap untuk memproses PKKPR secara cepat dan efisien.

C. Persyaratan Teknis yang Belum Terstandardisasi Sepenuhnya.

Meskipun ada PP dan Permen yang mengatur, dalam praktiknya :

1. Variasi Persyaratan di Daerah.

Interpretasi peraturan dan persyaratan teknis di tingkat daerah masih bisa bervariasi, menciptakan ketidakseragaman yang membingungkan investor.

2. Tuntutan Data Detail yang Berlebihan.

Terkadang, pemohon dituntut untuk menyediakan data teknis atau desain yang sangat detail di tahap awal PKKPR, padahal hal tersebut seharusnya menjadi bagian dari izin konstruksi atau lingkungan yang lebih lanjut.

3. Permintaan “Di Bawah Tangan”.

Risiko adanya permintaan non-prosedural atau “biaya siluman” masih ada, terutama dalam proses manual yang kurang transparan.

D. Kurangnya Sosialisasi dan Pemahaman Stakeholder.

1. Pemohon.

Banyak investor atau pelaku usaha, terutama UMKM, belum sepenuhnya memahami alur dan persyaratan PKKPR yang baru, sehingga seringkali terjadi kesalahan input data atau kekurangan dokumen.

2. Petugas Daerah.

Tidak semua petugas di daerah memiliki pemahaman yang seragam dan mendalam tentang ketentuan PKKPR dan implementasi OSS, menyebabkan inkonsistensi dalam pelayanan.

III. Dampak Kerumitan PKKPR Terhadap Investasi dan High Cost Bisnis.

Kerumitan dalam pengurusan PKKPR membawa dampak negatif yang signifikan terhadap iklim investasi dan biaya bisnis di Indonesia.

A. Penghambat Investasi.

1. Perpanjangan Waktu Persiapan Investasi.

Proses yang rumit dan berbelit-belit berarti waktu yang dibutuhkan investor untuk memulai proyek (groundbreaking) menjadi lebih lama.
Time is money bagi investor, dan penundaan berarti potensi kerugian atau terlewatinya momentum pasar.

2. Disinsentif Bagi Investor Baru.

Investor potensial, terutama dari luar negeri, yang melihat proses perizinan yang tidak efisien akan cenderung mengalihkan investasinya ke negara lain dengan iklim yang lebih mudah.

2. Kecilnya Minat pada Skala Kecil.

Kerumitan PKKPR juga memberatkan investasi skala kecil dan menengah yang memiliki sumber daya terbatas untuk mengurus perizinan yang kompleks.

B. High Cost Business (Biaya Bisnis Tinggi).

1. Biaya Langsung.

Meskipun PKKPR seharusnya tidak memungut biaya yang signifikan (selain PNBP untuk layanan tertentu), kerumitan proses dapat memicu biaya-biaya tidak terduga, seperti biaya transportasi, akomodasi, biaya legal untuk konsultan, atau bahkan potensi “biaya pelicin” yang ilegal.

2. Biaya Tidak Langsung.

(Opportunity Cost): Penundaan proyek berarti hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya sudah bisa dihasilkan. Biaya ini seringkali jauh lebih besar daripada biaya langsung.

3. Biaya Risiko.

Ketidakpastian dalam proses perizinan meningkatkan risiko investasi. Risiko ini seringkali ditranslasikan menjadi premi risiko yang lebih tinggi, yang pada akhirnya ditanggung oleh konsumen atau mengurangi profitabilitas proyek.

4. Beban Administrasi.

Pelaku usaha harus mengalokasikan sumber daya (waktu, tenaga kerja, uang) yang besar hanya untuk mengurus perizinan, mengalangi fokus pada pengembangan bisnis inti.

IV. Rekomendasi dan Harapan.

Untuk mengatasi kerumitan PKKPR dan mewujudkan tujuan awal UU Cipta Kerja, beberapa rekomendasi dapat diajukan :

1. Akselerasi Penyusunan dan Integrasi RDTR Digital.

Pemerintah pusat dan daerah harus mempercepat proses penyusunan RDTR digital dan memastikan integrasinya yang mulus dengan sistem OSS. Ini adalah kunci otomatisasi PKKPR.

2. Standarisasi Prosedur dan Persyaratan.

Kementerian ATR/BPN dan BKPM perlu bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyusun standar prosedur operasional (SOP) dan daftar persyaratan yang lebih jelas, seragam, dan tidak multitafsir.

3. Peningkatan Kapasitas SDM dan Infrastruktur Digital di Daerah.

Pemerintah perlu menginvestasikan lebih banyak dalam pelatihan SDM dan penyediaan infrastruktur digital di seluruh daerah untuk mendukung proses PKKPR yang efisien.

4. Optimalisasi Koordinasi Lintas Sektor.

Membangun single window policy yang lebih efektif dalam sistem OSS, di mana koordinasi antar-kementerian/lembaga dapat dilakukan secara internal dan tidak membebani pemohon.

5. Sosialisasi dan Edukasi Masif.

Melakukan sosialisasi yang berkelanjutan dan edukasi yang mudah diakses bagi pelaku usaha dan petugas pemerintah di daerah mengenai mekanisme dan filosofi PKKPR.

6. Pengawasan dan Penegakan Hukum.

Memperketat pengawasan terhadap praktik pungutan liar atau penyelewengan prosedur dalam proses perizinan, serta menerapkan sanksi tegas.

Kesimpulan.

Meskipun PKKPR diperkenalkan sebagai solusi untuk menyederhanakan perizinan dan mendorong investasi, realitas implementasinya masih jauh dari harapan.

Kerumitan pengurusan PKKPR akibat minimnya RDTR digital, birokrasi yang belum efisien, dan ketidakseragaman interpretasi peraturan, telah menjadi penghambat investasi dan menyebabkan high cost business di Indonesia.

Oleh karena itu, diperlukan komitmen kuat dari pemerintah pusat dan daerah untuk mengatasi akar masalah kerumitan ini. Tanpa perbaikan signifikan dalam tata kelola PKKPR, tujuan luhur UU Cipta Kerja untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan mengurangi beban biaya bisnis di Indonesia akan sulit tercapai, dan hanya akan menjadi impian yang belum sepenuhnya terwujud. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *