Artikel: Lemahnya Pengawasan Hakim dan Solusinya

LEMAHNYA PENGAWASAN HAKIM MEMBERI PELUANG MALPRAKTEK & JUAL BELI PERKARA.

Oleh :
Dr. KRA. MJ. Widijatmoko SH Sp.N
Dosen Universitas Djuanda Bogor.

Ada anggapan umum yang kuat bahwa kelemahan pengawasan hakim di Indonesia adalah akibat langsung dari serangkaian faktor yang saling terkait :
1. pemadulan aturan hukum pengawasan;
2. ⁠pelemahan mekanisme pengawasan itu sendiri, serta
3. ⁠keterbatasan dan posisi Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas.

Ini adalah isu krusial yang berdampak langsung pada integritas peradilan dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

I. Pemadulan Aturan Hukum Pengawasan Hakim.

“Pemadulan aturan hukum” dalam konteks ini merujuk pada kondisi di mana peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi landasan pengawasan hakim dibuat atau ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membatasi, mengebiri, atau menghilangkan efektivitas pengawasan. Ini bisa terjadi melalui :

1. Pengekangan Kewenangan Lembaga Pengawas.
Undang-undang atau peraturan internal Mahkamah Agung (MA) yang membatasi ruang gerak KY, misalnya dalam hal investigasi, pemberian sanksi, atau eksekusi rekomendasi.

2. Ketiadaan Mekanisme yang Jelas.
Tidak adanya prosedur yang transparan dan streamlined untuk pelaporan, investigasi, dan penjatuhan sanksi etik dan disiplin terhadap hakim.

3. Perlindungan Berlebihan.
Aturan yang memberikan imunitas atau perlindungan hukum yang terlalu luas kepada hakim, sehingga sulit untuk dimintai pertanggungjawaban atas pelanggaran yang dilakukan.

4. Definisi Pelanggaran yang Kabur.
Kode etik atau pedoman perilaku hakim yang tidak cukup spesifik, membuat interpretasi dan penegakan menjadi subjektif.

Pemadulan aturan hukum pengawasan hakim adalah akar masalah yang sangat fundamental. Ketika regulasi itu sendiri “dipreteli” kemampuannya, maka upaya pengawasan di lapangan akan menjadi sia-sia. Hal ini menciptakan impunitas bagi hakim-hakim nakal, karena mereka tahu bahwa celah hukum akan melindungi mereka dari konsekuensi yang serius. Masyarakat, terutama para pencari keadilan, akan kehilangan keyakinan pada sistem yang seharusnya melindungi mereka, karena hakim, sebagai representasi hukum, justru kebal dari pengawasan yang efektif. Contoh nyata adalah perdebatan panjang mengenai sejauh mana kewenangan KY dalam mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi, atau dalam menindaklanjuti putusan Majelis Kehormatan Hakim (MKH).

II. Pelemahan Pengawasan (Implementasi di Lapangan).

Pelemahan pengawasan merujuk pada implementasi atau praktik pengawasan yang tidak optimal dan tidak efektif meskipun mungkin ada aturan yang memadai. Faktor-faktor yang berkontribusi pada pelemahan ini antara lain :

1. Minimnya Sumber Daya.
Keterbatasan anggaran, jumlah personel pengawas (baik di MA maupun KY), dan ketiadaan sarana prasarana yang memadai untuk melakukan investigasi yang komprehensif.

2. Keterbatasan Kompetensi.
Petugas pengawas mungkin tidak memiliki keahlian khusus dalam mendeteksi dan menginvestigasi pelanggaran yang kompleks, seperti suap, pemerasan, atau konflik kepentingan.

3. Budaya Tertutup (Korps Peradilan).
Adanya esprit de corps atau rasa solidaritas yang kuat di antara sesama hakim, yang terkadang menyebabkan kecenderungan untuk saling melindungi atau menutupi pelanggaran.

4. Tekanan dan Intervensi.
Pengawas seringkali menghadapi tekanan dari pihak-pihak berkepentingan, termasuk internal lembaga peradilan itu sendiri, untuk tidak menindaklanjuti laporan atau memperlambat proses.

5. Ketiadaan Tindak Lanjut yang Konsisten.
Laporan atau temuan pengawasan seringkali tidak ditindaklanjuti dengan sanksi yang tegas dan konsisten, sehingga tidak ada efek jera.

Pelemahan pengawasan di lapangan adalah manifestasi dari aturan yang tumpul dan keengganan institusional. Bahkan dengan aturan yang sempurna sekalipun, jika pengawasan tidak dijalankan dengan gigih, profesional, dan independen, maka pelanggaran akan terus terjadi. Ini adalah masalah budaya dan integritas aparatur. Ketika masyarakat melihat bahwa laporan pelanggaran etik hakim hanya “menguap” atau berakhir dengan sanksi yang ringan, maka semangat untuk melaporkan akan luntur dan deterrent effect (efek gentar) dari pengawasan menjadi nihil. Kondisi ini membuat hakim yang berintegritas juga menjadi rentan, karena lingkungan yang tidak diawasi dengan baik dapat mendorong praktik yang tidak etis.

III. Keterbatasan Lembaga Pengawas dan Komisi Yudisial (KY).

Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga konstitusional yang diberi amanat untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Namun, dalam praktiknya, KY menghadapi sejumlah keterbatasan :

1. Pembagian Kewenangan Pengawasan dengan MA.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, telah membagi kewenangan pengawasan hakim antara MA dan KY. MA berwenang mengawasi aspek teknis yudisial dan disiplin, sementara KY berwenang mengawasi kode etik dan pedoman perilaku hakim. Pembagian ini, dalam praktiknya, seringkali menimbulkan tumpang tindih, tarik-menarik, dan saling lempar tanggung jawab.

2. Wewenang yang Terbatas (Non-Eksekutorial).
Kewenangan KY umumnya bersifat rekomendasi. KY tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi disipliner atau non-disipliner secara langsung kepada hakim. Rekomendasi KY harus ditindaklanjuti oleh MA atau badan lain yang berwenang, dan seringkali proses tindak lanjut ini berjalan lambat atau tidak sesuai harapan KY.

3. Keterbatasan Ruang Lingkup.
Kewenangan KY sering diperdebatkan apakah mencakup hakim konstitusi atau hanya terbatas pada hakim di bawah MA. Putusan MK terkadang mempersempit ruang gerak KY.

4. Independensi yang Belum Penuh.
Meskipun KY adalah lembaga independen, namun dalam banyak aspek, ia sangat bergantung pada kerjasama dan kemauan baik dari MA. Ini menimbulkan potensi konflik kepentingan dan hambatan dalam menjalankan tugas.

5. Sumber Daya dan Citra.
Sama seperti lembaga pengawas lain, KY juga menghadapi tantangan sumber daya dan, terkadang, kurangnya dukungan dari elemen-elemen di dalam sistem peradilan itu sendiri.

Keterbatasan KY, baik secara konstitusional maupun operasional, adalah faktor krusial dalam lemahnya pengawasan hakim. KY, yang dibentuk dengan harapan menjadi penyeimbang dan pengawas eksternal yang kuat, seringkali berjuang melawan arus :

1. Minimnya Efek Gentar.
Jika lembaga yang bertugas mengawasi tidak memiliki taring atau kewenangan yang cukup untuk menegakkan rekomendasinya, maka keberadaannya tidak akan menciptakan efek gentar yang signifikan. Hakim-hakim yang berani melanggar etik tidak akan terlalu khawatir dengan rekomendasi yang belum tentu ditindaklanjuti secara serius.

2. Kesenjangan Harapan Publik.
Publik menaruh harapan besar pada KY untuk membersihkan peradilan. Namun, ketika KY terlihat tidak berdaya dalam menindak oknum hakim, ini justru merusak kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan secara keseluruhan.

3. Mengancam Kemerdekaan Peradilan Sejati.
Ironisnya, lemahnya pengawasan eksternal justru dapat mengancam kemerdekaan peradilan sejati. Kemerdekaan hakim tidak berarti kebal hukum atau kebal pengawasan. Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan dari intervensi eksternal dalam memutus perkara, namun tetap tunduk pada hukum dan kode etik.
Tanpa pengawasan yang efektif, kemerdekaan dapat disalahartikan sebagai impunitas, yang pada akhirnya merusak martabat hakim dan lembaga peradilan.

Kesimpulan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara hukum bahwa lemahnya pengawasan hakim di Indonesia adalah konsekuensi logis dari tiga pilar masalah yang saling memperparah :
1. Pemadulan aturan hukum pengawasan yang sengaja atau tidak sengaja menciptakan celah dan membatasi kewenangan pengawas.
2. Pelemahan pengawasan dalam implementasinya akibat keterbatasan sumber daya, budaya yang kurang mendukung, dan ketiadaan tindak lanjut yang konsisten.
3. Keterbatasan konstitusional dan operasional Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal yang tidak memiliki kewenangan eksekutorial penuh.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi sistemik dan holistik yang meliputi :
1. Revisi Undang-Undang.
Memperkuat kewenangan KY secara eksplisit dan menghilangkan dualisme pengawasan yang tumpang tindih dengan MA.

2. Peningkatan Kapasitas dan Independensi.
Memberikan sumber daya yang memadai kepada lembaga pengawas (baik MA maupun KY) dan menjamin independensi penuh mereka dari intervensi politik atau internal.

3. Transparansi dan Akuntabilitas.
Membangun mekanisme pengawasan yang lebih transparan, mudah diakses oleh publik, dan akuntabel.

4. Penguatan Integritas Internal.
Mendorong budaya integritas dan akuntabilitas di kalangan hakim itu sendiri, dengan sanksi yang tegas bagi pelanggar.

Tanpa perbaikan fundamental pada ketiga aspek ini, upaya untuk menciptakan peradilan yang bersih dan berintegritas akan terus menghadapi tantangan berat, dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia akan sulit untuk dipulihkan.

mjw – jkt juni 2025.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *