Akta Notaris Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Perkara di Pengadilan di Era Globalisasi

Akta Notaris Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Perkara di Pengadilan di Era Globalisasi Saat ini

Oleh Dr. KRA. MJ. Widijatmoko SH Sp.N

Dosen Universitas Djuanda Bogor.

  1. Pendahuluan.

Era globalisasi dan revolusi industri 4.0 telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam ranah hukum dan kenotariatan.

Adopsi teknologi informasi menjadi keniscayaan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, tak terkecuali dalam pembuatan akta. Konsep Akta Notaris Elektronik muncul sebagai respons terhadap kebutuhan ini, menjanjikan kemudahan, kecepatan, dan akurasi.

Namun, implementasinya memunculkan pertanyaan fundamental mengenai kedudukannya sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara di pengadilan. Makalah ini akan membahas konsep akta notaris elektronik, dasar hukumnya, kekuatan pembuktiannya, serta tantangan dan prospeknya di era digital saat ini.

  1. Konsep Akta Notaris Elektronik.

Secara tradisional, akta notaris selalu berbentuk fisik, ditulis atau dicetak di atas kertas, dan ditandatangani basah oleh para pihak dan Notaris. Namun, dengan perkembangan teknologi, muncul gagasan tentang Akta Notaris Elektronik (ANE).

ANE adalah akta otentik yang dibuat oleh Notaris dalam bentuk elektronik, dilengkapi dengan tanda tangan elektronik dan/atau segel elektronik Notaris, serta disimpan dalam sistem elektronik yang terjamin keamanannya.

Ciri utama ANE adalah bahwa seluruh proses pembuatannya, mulai dari penghadapan, pembacaan, persetujuan, hingga penandatanganan dan penyimpanan, dapat dilakukan secara elektronik. Ini memerlukan infrastruktur digital yang kuat, sistem keamanan siber yang canggih, dan regulasi yang jelas untuk menjamin keaslian dan integritas akta.

III. Dasar Hukum Akta Notaris Elektronik di Indonesia.

Secara spesifik, regulasi mengenai akta notaris elektronik masih dalam tahap pengembangan dan penyesuaian.

Namun, terdapat beberapa landasan hukum yang dapat menjadi pijakan :

 

  1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024.

UU ITE mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 ayat 1). Pasal 5 ayat 2 lebih lanjut menyatakan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Ini membuka pintu bagi pengakuan akta dalam bentuk elektronik. Selain itu, UU ITE juga mengatur tentang tanda tangan elektronik (Pasal 11) yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan manual, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu.

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

UUJN secara eksplisit mengatur tentang bentuk akta notaris yang masih bersifat fisik. Namun, Pasal 15 ayat (3) UUJN memberikan mandat kepada Notaris untuk membuat akta dalam bentuk tertulis atau dicetak, yang secara implisit belum mengakomodasi bentuk elektronik secara penuh.

Meskipun demikian, adanya diskusi dan usulan amandemen UUJN ke depan diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang lebih eksplisit untuk ANE.

  1. Peraturan Turunan atau Konsep Regulasi.

Meskipun belum ada payung hukum yang mengatur secara komprehensif, wacana mengenai ANE terus berkembang. Kementerian Hukum dan HAM serta Ikatan Notaris Indonesia (INI) segera melakukan kajian dan pembahasan untuk merumuskan regulasi yang memungkinkan praktik akta notaris elektronik, termasuk sistem penyimpanan protokol notaris secara elektronik (e-protokol).

  1. Akta Notaris Elektronik sebagai Alat Bukti dalam Pembuktian Perkara.

Kedudukan ANE sebagai alat bukti dalam persidangan merupakan isu krusial. Mengacu pada Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR/284 RBg, alat bukti dalam hukum acara perdata terdiri atas: surat (akta), persaksian, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Akta notaris tradisional termasuk dalam kategori alat bukti surat yang sempurna. Pertanyaannya, apakah ANE dapat memiliki kekuatan yang sama ?

  1. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Secara Konvensional.

Akta Notaris fisik memiliki kekuatan pembuktian sempurna dan mengikat (formele bewijskracht dan materiele bewijskracht). Artinya, apa yang tercantum dalam akta harus dianggap benar, baik mengenai apa yang terjadi di hadapan Notaris maupun mengenai isi perjanjian itu sendiri, kecuali ada bukti yang sangat kuat untuk membuktikan sebaliknya (misalnya, akta itu palsu atau dibuat di bawah paksaan).

  1. Relevansi UU ITE terhadap ANE.

Dengan diakuinya dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah oleh UU ITE, secara teoritis ANE memiliki potensi untuk menjadi alat bukti yang kuat. Namun, untuk mencapai kekuatan pembuktian yang setara dengan akta otentik fisik, ANE harus memenuhi syarat-syarat tertentu :

  1. Keaslian dan Integritas.

Informasi elektronik harus dijamin keasliannya dan tidak dapat diubah (immutable). Ini memerlukan penggunaan sertifikat elektronik, tanda tangan elektronik yang terverifikasi, dan sistem keamanan data yang kuat (enkripsi, blockchain jika relevan).

  1. Dapat Diakses dan Ditampilkan.

Informasi harus dapat diakses, ditampilkan, dan dicetak kembali sehingga memiliki kekuatan hukum yang sah.

  1. Keterikatan Notaris.

ANE harus dibuat oleh Notaris yang berwenang, sesuai dengan prosedur dan kewajiban Jabatan Notaris. Kehadiran fisik para pihak, atau setidaknya verifikasi identitas yang kuat melalui sarana elektronik yang aman, tetap krusial.

  1. Tantangan dalam Pembuktian ANE di Pengadilan.

Meskipun ada potensi, ANE menghadapi beberapa tantangan dalam pembuktian di pengadilan :

  1. Validitas Tanda Tangan Elektronik.

Meskipun UU ITE mengakui, implementasi di lapangan masih memerlukan pemahaman hakim yang mendalam mengenai teknologi tanda tangan elektronik, terutama jika terjadi penyangkalan.

  1. Keamanan Sistem Elektronik.

Risiko peretasan, manipulasi data, atau kerusakan sistem dapat menjadi isu dalam pembuktian. Diperlukan audit keamanan yang independen dan terpercaya.

  1. Pembuktian Kehadiran/Identifikasi.

Bagaimana Notaris dapat meyakinkan pengadilan bahwa para pihak benar-benar hadir secara virtual dan teridentifikasi dengan tepat ?

Ini memerlukan teknologi verifikasi biometrik yang andal dan diakui secara hukum.

  1. Literasi Digital Penegak Hukum.

Hakim, jaksa, dan pengacara perlu memiliki pemahaman yang memadai tentang teknologi informasi dan akta elektronik untuk dapat mengevaluasi bukti digital secara tepat.

  1. Perubahan Paradigma.

Pengadilan dan penegak hukum harus beradaptasi dari pola pikir “fisik” ke “digital” dalam menilai keabsahan dan kekuatan pembuktian dokumen.

  1. Pendapat Hukum.

Dalam pendapat hukum saya, Akta Notaris Elektronik memiliki potensi besar untuk diakui sebagai alat bukti yang sah dan memiliki kekuatan pembuktian yang setara dengan akta otentik fisik di pengadilan, asalkan didukung oleh kerangka hukum yang kuat dan implementasi teknologi yang cermat.

Secara de lege lata (hukum yang berlaku saat ini): Dengan mengacu pada UU ITE, ANE yang memenuhi syarat keaslian, integritas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara elektronik, sudah dapat dianggap sebagai alat bukti surat yang sah. Namun, untuk mencapai status “akta otentik” dalam arti Pasal 1868 KUHPerdata, dibutuhkan penegasan eksplisit dalam UUJN atau peraturan pelaksanaannya mengenai bentuk akta Notaris yang juga mencakup format elektronik, bukan hanya “tertulis atau dicetak”.

Secara de lege ferenda (hukum yang seharusnya ada): Pemerintah dan DPR perlu segera mengamandemen UUJN untuk secara jelas mengatur tentang Akta Notaris Elektronik, termasuk:

  1. Definisi ANE,
  2. Persyaratan teknis dan hukum pembuatannya (misalnya, penggunaan sistem e-protokol, tanda tangan elektronik Notaris bersertifikat),
  3. Prosedur verifikasi identitas para pihak secara elektronik,
  4. Ketentuan penyimpanan dan akses e-protokol,
  5. Sanksi bagi pelanggaran terkait ANE, dan
  6. Penegasan kekuatan pembuktian ANE sebagai akta otentik.

Tanpa regulasi yang komprehensif, ANE mungkin masih akan menghadapi keraguan di persidangan, dan kekuatannya bisa diperdebatkan setara dengan akta di bawah tangan jika tidak memenuhi standar otentisitas yang ketat. Era globalisasi menuntut adaptasi, dan pengakuan serta regulasi ANE adalah langkah esensial untuk menjaga relevansi profesi Notaris dan kepastian hukum di tengah perkembangan teknologi.

Kesimpulan.

Akta Notaris Elektronik adalah keniscayaan di era digital. Meskipun UU ITE telah membuka jalan bagi pengakuan dokumen elektronik sebagai alat bukti, diperlukan regulasi yang lebih spesifik dalam UUJN untuk memberikan landasan hukum yang kokoh bagi ANE sebagai akta otentik.

Dengan kerangka hukum yang jelas, standar teknologi yang tinggi, dan peningkatan literasi digital para pihak serta penegak hukum, Akta Notaris Elektronik akan mampu berfungsi secara efektif sebagai alat bukti yang kuat dalam pembuktian perkara di pengadilan, sekaligus meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas layanan kenotariatan di Indonesia. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *